Miftahul Jannah: Maret 2012

Sabtu, 31 Maret 2012

Kasus Pencurian Sandal Jepit Polisi

Dalam tulisan ini, saya akan memberikan opini mengenai “Kasus pencurian Sandal Jepit Polisi”. Opini ini akan masuk ke dalam tugas IBD yang berhubungan dengan Manusia dan Keadilan.

Kasus pencurian sandal oleh bocah 15 tahun asal Palu bernama AL. Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Palu yang di proses hukum atas tuduhan mencuri sandal jepit milik seorang anggota polisi setempat. Dan di tuntut 5 tahun penjara. Dalam kasus ini, upaya penegakan hukum harus dilakukan akan tetapi sisi kearifan lokal dan rasa keadilan masyarakat juga perlu diperhatikan.

 
Polisi seharusnya cukup dengan melakukan pembinaan terhadap AL yang masih sekolah dan anak di bawah umur. Selain itu, pihak berwajib menghentikan proses hukum karena telah mengembangkan rasa keadilan hukum di masyarakat. 



Bocah berusia 15 tahun yang mencuri sandal jepit di proses hukum, itu sangat tidak adil dengan apa yang selama ini terjadi Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia sangat diskriminatif. Maka dari itu, sangat tidak adil bila pencuri sandal jepit saja diproses hukum dan lain halnya dengan kasus korupsi miliaran rupiah yang sangat merugikan negara ini tidak tersentuh oleh hukum dan bahkan vonis hukuman cukup ringan atau kasusnya dapat di hilangkan.

Kekerasan Yang Dialami TKI

Dalam tulisan ini, saya akan memberikan opini mengenai “Kekerasan Yang Dialami TKI”. Opini ini akan masuk ke dalam tugas IBD yang berhubungan dengan Manusia dan Penderitaan.

TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa Indonesia karena dalam setahun dapat menghasilkan devisa mencapai 60 trilyun rupiah dan memberikan kontribusi yang besar bagi penghasilan negara ini. Namun kenyataannya, TKI menjadi keuntungan (pungli) untuk agen-agen tki terkait ataupun para pejabat. 

Banyak orang yang terpaksa menjadi TKI hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dikampung. Hal itu diambil, hanya karena sulit untuk mendapatkan pekerjaan di Indonesia dan karena keterbatasan kemampuan. Selain itu menurut mereka gaji TKI di luar negeri lebih besar ketimbang bekerja di Indonesia dengan kemampuan yang minim. Tetapi tidak selamanya TKI dengan penghasilan besar mendapat perilaku majikan di luar negeri dengan baik. Buktinya, banyak sekali beberapa TKI yang mengalami kekerasan. Lebih banyak TKI di luar negeri yang mengalami kekerasan secara fisik sampai dengan tewas. Diantara, Siti Hajar dan Sumiati.

Siti Hajar, penyiksaan yang didapatnya mulai dari di siram air panas, di pukul dan lain-lain. Belum lepas dari ingatan kita, memar lebam dan pilu Siti Hajar, seorang TKI di Malaysia yang dihajar sampai masuk rumah sakit oleh majikan perempuan yang menunda gaji Siti hingga 34 bulan. 

 (Siti Hajar, korban penyiksaan TKI di Malaysia)

Sedangkan Sumiati, TKI yang juga menjadi korban penyiksaan di Arab Saudi lebih parah. Ia di siksa dengan setrika di beberapa bagian tubuh oleh majikannya dan mengalami luka bakar di tubuhnya. Tak hanya itu, kedua kakinya nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak. 

 (Sumiati, korban penyiksaan TKI di Arab Saudi)

Kondisi ini menimbulkan masalah bagi TKI yang berada di tangan majikan di negara tujuan. Apalagi, demi mendapatkan pekerja itu, majikan pun sudah membayar uang yang tidak sedikit. Kekecewaan majikan dilampiaskan dengan melakukan penyiksaan, menahan gaji TKI, dan berbagai tindakan lainnya. Mestinya, sebelum di kirim ke negara tujuan TKI harus di didik dengan keterampilan atau keahlian yang cukup dan professional. 

Seharusnya, pemerintah lebih memperhatikan nasib para TKI karena hal ini bukan yang pertama kali terjadi, sudah selayaknya perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri menjadi tanggung jawab pemerintah.

Semoga tidak ada lagi TKI yang mengalami penyiksaan di luar negeri.